Wednesday, August 1, 2012
Sepucuk Surat Dari Seorang Ayah
Aku
tuliskan surat ini atas nama rindu yang besarnya, hanya Allah yang tahu……..
Nak,
menjadi seorang ayah itu indah dan mulia. Besar kecemasanku menanti kelahiranmu
dulu, belum hilang hingga saat ini. Kecemasan yang indah, karena ia didasari
sebuah cinta. Sebuah cinta yang telah terasakan bahkan ketika yang dicintai
belum sekalipun kutemui.
Nak,
menjadi ayah itu mulia. Bacalah sejarah Nabi-Nabi dan Rasul dan temukanlah
betapa nasehat yang terbaik itu dicatat dari dialog seorang ayah dengan
anak-anaknya.
Meskipun
demikian, ketahuilah Nak, menjadi ayah itu berat dan sulit, tapi menemui
keberadaanku, makna keberadaanmu, dan makna tugas kebapakanku terhadapmu.
Sepanjang masa keberadaanmu adalah salah satu masa terindah dan paling aku
banggakan di depan siapapun. Bahkan dihadapan Tuhan, ketika aku duduk berduaan
berhadapan dengan-Nya, hingga saat usia senja ini. Nak, saat pertama engkau
hadir, kucium dan kupeluk engkau sebagai buah cintaku dan ibumu. Sebagai bukti,
bahwa aku dan ibumu tak lagi terpisahkan oleh apapun jua.
Tapi
seiring waktu, ketika engkau suatu kali telah mampu berkata “TIDAK”, timbul
kesadaranku siapa engkau sesungguhnya. Engkau bukan milikku, atau milik ibumu Nak.
Engkau lahir bukan karena cintaku dan cinta ibumu. Engkau adalah milik Allah
Robbul Izzati. Tak ada hakku menuntut pengabdian darimu, karena pengabdianmu
semata-mata seharusnya hanya untuk Allah SWT. Nak, sedih, pedih dan
terhempaskan rasanya menyadari siapa sebenarnya Aku dan siapa engkau. Dan dalam
waktu panjang di malam-malam sepi, kusesali kesalahanku itu sepenuh-penuh air
mata di hadapan Allah.
Syukurlah,
peneyesalan itu mencerahkanku. Sejak saat itu Nak, satu-satunya usahaku adalah
mendekatkanmu kepada pemilikmu yang sebenarnya. Membuatmu senantiasa berusaha
memenuhi keinginan pemilikmu. Melakukan segala sesuatu karena-Nya, bukan karena
kau dan ibumu. Tugasku bukan membuatmu dikagumi orang lain, tapi agar engkau
dikagumi dan dicintai Allah.
Inilah
usaha terberatku Nak, karena artinya aku harus lebih dulu memberi contoh
kepadamu dekat dengan Allah. Keinginanku harus lebih dulu sesuai dengan
keinginan Allah, agar perjalananmu mendekati-Nya tak lagi terlalu sulit
dicintai Allah.
Kemudian,
kitapun memulai perjalanan itu berdua, tak pernah engkau kuhindarkan dari
kerikil tajam dan lumpur hitam. Aku cuma menggenggam jemarimu dan merapatkan
jiwa kita satu sama lain, agar dapat kau rasakan perjalanan ruhaniah yang
sebenarnya. Saat engkau mengeluh letih berjalan, kukuatkan engkau karena kita
memang tak boleh berhenti. Perjalanan mengenal Allah tak kenal letih dan
berhenti. Nak, berhenti berarti mati, inilah kata-kataku tiap kali memeluk dan
menghapus air matamu, ketika engkau hamper putus asa.
Akhirnya
Nak, kalau nanti ketika semua manusia dikumpulkan di hadapan Allah, dan
kudapati jarakku amat jauh dari-Nya, aku akan ikhlas. Tapi, kalau boleh aku
berharap, aku ingin saat itu aku melihatmu dekat dengan Allah. Aku akan bangga
Nak, karena itulah bukti bahwa semua titipan bias kita kembalikan kepada
pemiliknya.
Sumber: Smarteen
Penulis: Ahsan AG
What ever comes on our way, what ever bad we have rage inside this, we always have a choice. We choose to be the best of ourselves. The choice that makes who we are and we can always choose to do what the right. Read More →
Related Posts:
Renungan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments: