Ad 468 X 60

Sunday, December 29, 2013

Widgets

Makna di Balik Kata Kaligrafi


Kaligrafi seni tulisan indah berasal dari bahasa Yunani kalios (indah) dan gra phia (coretan atau tulisan). Bahasa Arab mengistilahkannya dengan khatt (tulisan atau garis) yang ditujukan pada tulisan yang indah (al-Kitabah al-Jamilah atau al-Khatt al-Jamil)
Pengertian istilah khatt dikemukakan oleh Syeikh Syamsuddin al-Afkani (penulis berbagai cabang ilmu: tasawuf, kedokteran, dan lain-lain) dalam kitabnya Irsyad al-Qasid (yang berisi tentang akhlak tasawuf) pada bab “Hasyrul ‘Ulum” yang mengatakan, “Khatt adalah ilmu yang memperkenalkan bentuk-bentuk huruf tunggal, penempatannya dan cara merangkainya menjadi tulisan atau apa yang ditulis dalam baris-baris, bagaimana cara menulisnya, dan menentukan mana yang tidak perlu ditulis, menggubah ejaan yang perlu digubah dan bagaimana menggubahnya.” 

Seperti dijelaskan dalam buku Ensiklopedia Islam yang diterbitkan PT Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta, pengertian ini merujuk pada syarat-syarat bagi terbentuknya tulisan yang bagus, yaitu kesempurnaan anatomi huruf, sistem tata letak (layout), struktur atau komposisi garis dan ruang, etika penulisan dan pengolah an alfabet. 
Sedangkan, al-Khattat (kaligrafer) Yaqut Al Musta’simi mempersyaratkan bahwa suatu tulisan disebut indah bila karya tersebut membiaskan pengaruh keindahannya kepada hati, jiwa, dan pikiran seperti pengaruh dakwah yang dipantulkan dari lukisan kaligrafi yang indah. 
Di dunia Islam, kaligrafi sering disebut sebagai seninya seni Islam (the art of Islamic), suatu kualifikasi dan penilaian yang menggambarkan kedalaman makna yang esensinya berasal dari keseluruhan nilai dan konsep keimanan. Kebangkitan minat tulis baca kaum Muslimin dimulai dari tahun kedua Hijriah ketika Rasulullah SAW mewajibkan masing-masing tawanan Perang Badr yang tidak mampu memberikan tebusan untuk mengajari 10 pemuda Madinah membaca dan menulis. 
Selanjutnya, Rasulullah SAW memerintahkan para pemuda ini untuk mengajarkan pengetahuan mereka kepada kawan-kawan dan saudara-saudaranya sehingga dalam waktu relatif singkat, pengetahuan baca tulis menyebar di Madinah. 
Roh Al-Qur’an sendiri memberikan pengaruh dan dorongan yang tersimpul dalam wahyu pertama (Alquran surah al-Alaq: 1-5) berkenaan dengan perintah membaca dan menulis. Selanjutnya, hasrat kaum Muslimin untuk memperelok tulisan Al-Qur’an menjadi modal dasar bagi pengembangan kaligrafi Arab. 
Batas pandang agama terhadap seni tulis indah terukur dalam pandangan Al-Qur’an dan Sunnah. Dorongan-dorongan lain, misalnya datang dari ayat-ayat Al-Qur’an yang menyimpulkan kegiatan dan perabotan baca tulis, seperti nun atau midad (tinta) sedangkan pada bagian lain menyebut qalam (pena), katib (penulis), uktub (tulislah), dan yasturun (menggores). 
Pada masa kekuasaan Khalifah Usman bin Affan, tulisan mushaf Al-Qur’an masih gundul, tidak berharakat (tanpa tanda baca). Untuk menghindarkan salah baca, ahli bahasa Abu al-Aswad Zalim bin Sufyan ad-Du’aly merumuskan tanda baca harakat dan titik atas perintah Khalifah Ali bin Abi Thalib. Tugas ini dilanjutkan dua muridnya, yaitu Nasir bin Asim serta Yahya bin Ya’mur, dan disempurnakan oleh Khalil bin Ahmad bin Amr bin Tamim al Farahidi al-Azdi.

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati
Penulis: Ahsan AG
What ever comes on our way, what ever bad we have rage inside this, we always have a choice. We choose to be the best of ourselves. The choice that makes who we are and we can always choose to do what the right. Read More →

0 comments: