Sunday, December 29, 2013
Makna di Balik Kata Kaligrafi
Kaligrafi
seni tulisan indah berasal dari bahasa Yunani kalios (indah) dan gra phia (coretan
atau tulisan). Bahasa Arab mengistilahkannya dengan khatt (tulisan atau garis) yang ditujukan pada tulisan yang indah (al-Kitabah al-Jamilah atau al-Khatt al-Jamil).
Pengertian istilah khatt
dikemukakan oleh Syeikh Syamsuddin al-Afkani (penulis berbagai cabang ilmu:
tasawuf, kedokteran, dan lain-lain) dalam kitabnya Irsyad al-Qasid (yang berisi
tentang akhlak tasawuf) pada bab “Hasyrul
‘Ulum” yang mengatakan, “Khatt adalah
ilmu yang memperkenalkan bentuk-bentuk huruf tunggal, penempatannya dan cara
merangkainya menjadi tulisan atau apa yang ditulis dalam baris-baris, bagaimana
cara menulisnya, dan menentukan mana yang tidak perlu ditulis, menggubah ejaan
yang perlu digubah dan bagaimana menggubahnya.”
Seperti dijelaskan dalam buku Ensiklopedia Islam yang
diterbitkan PT Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta, pengertian ini merujuk pada
syarat-syarat bagi terbentuknya tulisan yang bagus, yaitu kesempurnaan anatomi
huruf, sistem tata letak (layout), struktur atau komposisi garis dan ruang,
etika penulisan dan pengolah an alfabet.
Sedangkan, al-Khattat
(kaligrafer) Yaqut Al Musta’simi mempersyaratkan bahwa suatu tulisan disebut
indah bila karya tersebut membiaskan pengaruh keindahannya kepada hati, jiwa,
dan pikiran seperti pengaruh dakwah yang dipantulkan dari lukisan kaligrafi
yang indah.
Di dunia Islam, kaligrafi sering disebut sebagai seninya
seni Islam (the art of Islamic), suatu kualifikasi dan penilaian yang menggambarkan
kedalaman makna yang esensinya berasal dari keseluruhan nilai dan konsep
keimanan. Kebangkitan minat tulis baca kaum Muslimin dimulai dari tahun kedua
Hijriah ketika Rasulullah SAW mewajibkan masing-masing tawanan Perang Badr yang
tidak mampu memberikan tebusan untuk mengajari 10 pemuda Madinah membaca dan
menulis.
Selanjutnya, Rasulullah SAW memerintahkan para pemuda ini
untuk mengajarkan pengetahuan mereka kepada kawan-kawan dan saudara-saudaranya
sehingga dalam waktu relatif singkat, pengetahuan baca tulis menyebar di
Madinah.
Roh Al-Qur’an sendiri memberikan pengaruh dan dorongan yang
tersimpul dalam wahyu pertama (Alquran surah al-Alaq: 1-5) berkenaan dengan
perintah membaca dan menulis. Selanjutnya, hasrat kaum Muslimin untuk
memperelok tulisan Al-Qur’an menjadi modal dasar bagi pengembangan kaligrafi
Arab.
Batas pandang agama terhadap seni tulis indah terukur dalam
pandangan Al-Qur’an dan Sunnah. Dorongan-dorongan lain, misalnya datang dari
ayat-ayat Al-Qur’an yang menyimpulkan kegiatan dan perabotan baca tulis,
seperti nun atau midad (tinta) sedangkan pada bagian lain menyebut qalam (pena), katib (penulis), uktub (tulislah),
dan yasturun (menggores).
Pada masa kekuasaan Khalifah Usman bin Affan, tulisan
mushaf Al-Qur’an masih gundul, tidak berharakat (tanpa tanda baca). Untuk
menghindarkan salah baca, ahli bahasa Abu al-Aswad Zalim bin Sufyan ad-Du’aly
merumuskan tanda baca harakat dan titik atas perintah Khalifah Ali bin Abi
Thalib. Tugas ini dilanjutkan dua muridnya, yaitu Nasir bin Asim serta Yahya bin
Ya’mur, dan disempurnakan oleh Khalil bin Ahmad bin Amr bin Tamim al Farahidi
al-Azdi.
Sumber: http://www.republika.co.id/
Penulis: Ahsan AG
What ever comes on our way, what ever bad we have rage inside this, we always have a choice. We choose to be the best of ourselves. The choice that makes who we are and we can always choose to do what the right. Read More →
Related Posts:
Dunia Islam
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments: